Keteguhan Imam Nawawi menolak Pajak,sampai diusir
S![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEisbUQsFUaqEtljUCPSeDfYstU0H622ig_a5IaYGQGvxeQ7eCUw7ybEsUPL4qQNU_-8WTaANFHhA2zmSfAwI6fjpxV2g8P0fKUV8B5_lMHn5663HsdtP2Aum6Rvwj0o3LktIjj9VcmhdZg/s320/IMG_20210419_111700_e.png)
Pendapat ini menjadi prinsip yang beliau pegang dalam kehidupannya. Hingga pada suatu ketika terjadi penyerangan besar-besaran pasukan Tartar terhadap wilayah-wilayah kaum muslimin. Saat Sultan al-Malik al-Zhahir (Sultan Zahir Bairbas) yang berkuasa di pertengahan abad VII Hijriyah meminta seluruh ulama Syam baik dari Suriah, Libanon, Yordania sampai Palestina datang membahas pembiayaan perang melawan pasukan Tartar yang telah menghancurkan Baghdad.
Untuk mengatasi permasalahan negeri sang Sultan mengumpulkan Para Ulama dan ahli Fiqih di masa itu, Sultan al-Zhahir meminta kepada para ulama ini untuk membuat fatwa yang membolehkan negara mengambil harta kekayaan rakyat untuk pembiayaan perang yang tidak sedikit.
Para ulama ini dengan cepat berhasil merumuskan fatwa tersebut, yang ditulis dan ditandatangani ulama Syam. Tetapi Sultan al-Zhahir tidak puas, karena dari para ulama yang hadir tidak terlihat Imam Nawawi. Hal ini memicu keraguan keterwakilan seluruh ulama.
Maka Sultan al-Zhahir bertanya, “Adakah ulama lain yang tidak hadir di sini?” Maka salah seorang ulama menjawab, “Ada, Muhyiddin al-Nawawi yang tidak terlihat di sini.” sultanpun menyuruh bawahannya untuk mengundang Imam Nawawi.Sultan kemudian mengutus bawahannya untuk mengundang Imam Nawawi ke istananya di Damaskus. Di balairung kerajaan, setelah mengucapkan selamat datang dan terima kasihnya atas kedatangan Imam Nawawi, Sultan kemudian mengemukakan bahwa telah disepakati fatwa dari sejumlah ulama yang menyetujui pembiayaan perang dengan harta dari rakyat.
Sultan berkata kepadanya “Berikan persetujuan anda terhadap pendapat para ulama yang lain,” Sultan kemudian meminta dukungan atas fatwa tersebut dari Imam Nawawi, agar lebih kuat lagi. Imam Nawawi yang waktu itu berusia 40 tahun menjawab,tidak bersedia. Sultan menanyakan kepada Imam Nawawi, “Kenapa anda menolak?”
Baca : Hukum Pajak dan Pungutannya menurut Islam
Imam Nawawi menjawab, "Mohon maaf jika Sultan kurang berkenan dengan penjelasan saya ini.Saya mengetahui bahwa Sultan dahulu adalah hamba sahaya dari Amir Banduqdar, anda tak mempunyai apa–apa. Lalu Allah memberikan kekayaan dan dijadikannya sebagai Raja.
Dan Tuanku juga memiliki seribu orang hamba sahaya yang masing-masing mempunyai beberapa kantong emas.
Selain itu, anda pun memiliki 200 orang jariah (budak perempuan), setiap jariah mempunyai perhiasan. Apabila anda telah nafkahkan itu semua, dan hamba itu hanya memakai kain wol saja sebagai gantinya, demikian pula para jariah hanya memakai pakaian tanpa perhiasan, Andaikata Tuanku mengambil perhiasan emas dari dua ratus orang saja dari hamba-hamba sahaya wanita milik Tuanku untuk keperluan perang, maka saya bersedia memberi fatwa untuk membenarkan Tuanku mengambil harta rakyat sebagai tambahan jika ada kekurangan dari keuangan negara.”
Baca : Jangan Anggap remeh kedzoliman sesungguhnya ia kegelapan di Hari Kiamat
Mendengar pendapat Imam Nawawi ini, Sultan Zhahir pun marah kepadanya dan berkata, “Keluarlah dari negeriku, Damaskus.” Tanpa ada beban sedikit pun, Imam Nawawi menjawab, “Saya taat dan saya dengar perintah Sultan.” Kemudian beliau pun keluar dari wilayah Damaskus pulang ke kampung halamannya di daerah Nawa, sebuah desa di daerah Syam.
Para ahli fikih berkata kepada Sultan, “Beliau itu adalah ulama besar, guru dan panutan kami.” Mendengar keluhan tersebut, Imam Nawawi pun diminta untuk kembali ke Damaskus. Tetapi permintaan tersebut beliau tolak dan berkata, “Saya tidak akan masuk Damaskus selagi Zhahir(sultan) ada di sana.” Lalu sebulan setelah itu Zhahir pun meninggal. (Lihat: Imam As-Suyuti, Husnu al-Muhadharah, 2/105)
#beda_manhaj _salaf_dengan_orang_salaf
Posting Komentar