News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-Hak Kaum Homoseksual

Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-Hak Kaum Homoseksual


Pada tahun 2005, muncul sebuah buku yang bikin banyak umat Islam mengernyit:
“Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-Hak Kaum Homoseksual.”

Buku ini diterbitkan oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, dan salah satu penulisnya adalah M. Kholidul Adib Ach.
Sejak diterbitkan, buku ini langsung menimbulkan kehebohan.
Bukan karena judulnya yang nyeleneh, tapi karena isinya benar-benar menabrak ajaran dasar Islam tentang keluarga dan moralitas.


Siapa sebenarnya M. Kholidul Adib?

Tak banyak yang tahu detail tentang sosoknya.
Ia diketahui pernah aktif di IAIN Walisongo Semarang, terlibat dalam Lembaga eLSA, dan juga dikenal sebagai aktivis PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).
Latar belakangnya cukup menarik: datang dari lingkungan Islam, tapi pemikirannya justru condong ke arah liberal dan pro-LGBT.


Isi Buku dan Gagasan yang Diperdebatkan

Buku Indahnya Kawin Sesama Jenis berisi kumpulan tulisan yang membela hak-hak kaum homoseksual di Indonesia.
Namun, yang membuat umat Islam bereaksi keras bukan sekadar soal “hak”, tapi karena isi buku ini mengubah total cara pandang terhadap agama, moral, dan keluarga.

Beberapa gagasan utama M. Kholidul Adib antara lain:
 1. Homoseksualitas itu alami, bukan penyimpangan.
Adib berpendapat bahwa cinta sesama jenis adalah bagian dari “fitrah ciptaan Tuhan”.
Menurutnya, homoseksual tidak boleh dianggap aib, karena katanya “orientasi seksual” adalah kodrat, bukan pilihan.
Ia menulis:
“Homoseksualitas adalah berasal dari Tuhan, dan karena itu harus diakui sebagai hal yang alamiah.”

Dalam pandangannya, seseorang tidak bisa disalahkan hanya karena mencintai sesama jenis.


 2. Perkawinan tidak harus antara laki-laki dan perempuan.
Ini bagian paling kontroversial.
Adib berpendapat, sudah saatnya masyarakat meninjau ulang definisi “perkawinan”.
Ia menulis:
“Pasangan dalam perkawinan tidak harus berlainan jenis kelaminnya, boleh saja sesama jenis.”

Ia juga menyebut bahwa undang-undang Indonesia yang hanya mengakui pernikahan antara laki-laki dan perempuan adalah bentuk diskriminasi. Dia menyarankan agar UU Perkawinan No 1/1974 diganti saja, dan melegalkan pernikahan sejenis sejauh suka sama suka.


 3. Menafsir ulang kisah Nabi Luth.

Dalam bukunya, Adib mencoba menafsirkan ulang kisah Nabi Luth dengan sudut pandang yang sangat berbeda dari pemahaman para ulama selama ini. Ia menulis bahwa kebencian Nabi Luth terhadap kaum homoseksual bukan disebabkan oleh alasan moral dan agama, melainkan karena faktor pribadi dan sosial. Menurut Adib, Nabi Luth merasa kecewa karena dua laki-laki yang datang ke rumahnya-yang ternyata memiliki kecenderungan sesama jenis—menolak untuk menikahi kedua putrinya. Dari situ, kata Adib, muncul penilaian negatif Nabi Luth terhadap mereka.

Adib bahkan menggambarkan istri Nabi Luth sebagai sosok yang justru memahami dan membela kaum homoseksual. Ia menulis bahwa sang istri berusaha menyadarkan Nabi Luth agar tidak menghakimi kedua laki-laki itu, namun justru dianggap melawan suami. Dengan cara pandang seperti ini, Adib ingin menegaskan bahwa Nabi Luth telah salah paham terhadap kaum homo.

Lebih jauh, Adib menilai bahwa Al-Qur’an tidak secara eksplisit menyatakan bahwa homoseksualitas adalah dosa. Ia menafsirkan bahwa azab terhadap kaum Nabi Luth bukan karena mereka mencintai sesama jenis, tetapi karena perilaku mereka yang kejam, memperkosa tamu, dan menindas orang lain. Dengan demikian, menurut Adib, orientasi seksual sesama jenis seharusnya tidak dianggap salah, selama hubungan itu didasari kasih sayang dan kesetaraan.


 4. Pendekatan Hak Asasi dan Kesetaraan.
Dalam kerangka berpikirnya, semua manusia bebas menjalani hidup sesuai pilihannya.
Adib memakai pendekatan HAM dan demokrasi bahwa negara harus melindungi siapa pun, termasuk kaum LGBT.
Baginya, tidak ada perbedaan nilai antara laki-laki dan perempuan, bahkan dalam urusan pernikahan.


Kenapa Pemikirannya Dianggap Menghebohkan?

Karena apa yang ia tulis bertentangan dengan ajaran Islam yang paling dasar.
Islam dengan tegas mengatur bahwa pernikahan hanya sah antara laki-laki dan perempuan.
Hubungan sesama jenis (liwāṭ) disebut sebagai dosa besar, bukan karena kebencian terhadap pelakunya, tapi karena ia merusak tatanan moral dan fitrah manusia.

Para ulama dari berbagai mazhab sepakat, pernikahan sejenis adalah tidak sah dan haram.
Selain menyalahi hukum fikih, gagasan ini juga menghantam maqāṣid as-syarī‘ah tujuan pokok syariat Islam, yaitu menjaga keturunan (ḥifẓ an-nasl), menjaga akal (ḥifẓ al-‘aql), dan menjaga agama (ḥifẓ ad-dīn).

Maka tak heran, banyak ulama dan aktivis Muslim menyebut buku ini berbahaya.
Bukan karena ingin menghakimi, tapi karena pemikirannya bisa menyesatkan generasi muda yang belum memahami agama secara mendalam.


Reaksi Umat dan Akademisi

Begitu buku ini terbit, banyak yang bereaksi keras.
Ada yang menyebutnya bentuk liberalisasi agama yang kebablasan.
Ada juga yang menilainya sebagai upaya menormalkan dosa besar dengan bungkus HAM dan kebebasan.
Bahkan beberapa media Islam menulis artikel khusus yang menyebut buku ini sebagai “tantangan bagi umat Islam di era kebebasan moral.”

Namun ironisnya, di kalangan kampus, buku ini justru dijadikan bahan kajian.
Sebagian akademisi malah memujinya sebagai “pemikiran progresif.”
Padahal, dari sisi syariat, pemikiran semacam ini jelas bertentangan dengan prinsip dasar Islam.


Yang menyedihkan adalah meskipun pemikirannya menimbulkan kehebohan besar dan jelas menabrak ajaran agama tidak ada teguran apa pun terhadap M. Kholidul Adib.
Ia tetap melanjutkan studinya, memperoleh gelar sarjana, bahkan sampai doktor, seolah tidak pernah ada yang salah.

Fenomena ini membuat banyak orang geleng-geleng kepala.
Bagaimana mungkin di lingkungan kampus Islam, seseorang bisa menyebarkan gagasan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan tetap dihormati sebagai akademisi?
Apakah kebebasan berpikir di dunia akademik kini berarti bebas menabrak batas iman dan moral?

Inilah ironi dunia pendidikan Islam kita hari ini.

———————
Sumber :https://www.facebook.com/61566049576529/posts/pfbid07RjgqndX7F22XvrAYnPZpHrwvzuERCookJSco5n97Zdu8eZ7LNBm2dvJhonrfzV5l/?app=fbl

Tags

Newsletter Signup

Barang siapa yang penampilan dhohirnya lebih berbobot daripada batinnya maka akan ringan timbangan nya nanti di hari kiamat.

Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama

Posting Komentar