News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

HUKUM SITA BARANG PADA KREDIT MACET

HUKUM SITA BARANG PADA KREDIT MACET


Sebagian orang menganggap bahwa SITA barang bagi orang yang tidak mampu melunasi kewajiban membayar cicilan termasuk RIBA. Lalu bagaimana syariat memandang sita ini bagi kredit macet?

Sebagai tindakan pencegahan pihak pemberi kredit dianjurkan untuk meminta barang jaminan atau orang penjamin. Bila utang terlambat dilunasi ia bisa menjual barang jaminan atau menagih utang kepada pihak penjamin untuk melunasinya. Terkadang sebagian orang tidak mampu memberikan barang jaminan atau orang penjamin. 

Solusi yang diterapkan oleh beberapa Lembaga Keuangan Syariah, yaitu Lembaga Syariah meminta BARANG YANG DIJUAL sebagai barang gadaian dengan cara surat-surat resmi kepemilikan barang masih ditangan lembaga syariah, namun pembeli BEBAS menggunakan barang. Dan lembaga syariah membuat perjanjian dengan pembeli bahwa jika ia terlambat membayar angsuran kewajiban maka seluruh angsuran menjadi tunai. Bila ternyata pembeli terlambat melunasi angsuran maka seluruh sisa angsuran menjadi tunai dan barang DISITA oleh lembaga syariah, karena statusnya sebagai barang GADAI, lalu dijual untuk menutupi sisa seluruh angsuran dan SISA uang penjualan barang setelah pelunasan utang DIKEMBALIKAN kepada pembeli.

Solusi ini DIBENARKAN dalam Islam dan disetujui oleh Majma' Al Fiqh Al Islami (divisi fikih OKI) dengan keputusan No. 51(2/6) tahun 1990, yang berbunyi:

1. Dibolehkan penjual kredit mensyaratkan jatuh tempo seluruh angsuran sebelum waktunya ketika pembeli terlambat melunasi sebagian angsuran, selama pembeli menyetujui persyaratan ini saat transaksi dilakukan.

2. Penjual boleh mensyaratkan kepada pembeli agar barang yang dibelinya menjadi BARANG GADAI sebagai JAMINAN agar pembeli tidak terlambat melunasi angsuran.

Hukum BOLEH menggadaikan barang yang telah dibeli kepada penjual hingga pembayaran lunas merupakan pendapat jumhur ulama para ulama; Mazhab Abu Hanifah, Malik serta pendapat yang terkuat dari Mazhab Syafi'i dan Hanbali serta didukung oleh Keputusan Majma' Al Fiqh Al Islami (divisi fikih OKI).

Ibnu Qayyim berkata, "Barang yang telah dijual (tidak tunai), lalu penjual mensyaratkan barang tersebut untuk digadaikan hingga lunas pembayaran barang.....dalam hal ini tidak ada larangan yang membatalkan persyaratan ini.....para ulama sepakat jika disyaratkan yang menjadi barang gadaian atas utang kredit adalah barang lain hukum persyaratannya boleh....maka begitu juga hukumnya jika disyaratkan sebagai barang gadaian atas utang kredit barang yang dibeli (tidak tunai)". (I'lamul Muwaqqi'in, jilid IV, hal. 33).

Adapun bolehnya penerapan sanksi keterlambatan angsuran dengan cara SELURUH SISA angsuran menjadi TUNAI, selain Majma' Al Fiqh Al Islami juga dibolehkan oleh AAOIFI dalam panduannya yang berbunyi, "Boleh membuat persyaratan bahwa seluruh sisa angsuran menjadi tunai apabila kreditur yang mampu sengaja lambat membayar kewajiban, dan sebaiknya sanksi ini tidak diterapkan sebelum memberikan peringatan tertulis kepada kreditur minimal dua minggu setelah keterlambatan pelunasan kewajiban". (Al Ma'ayir Asy Syar'iyyah, hal. 26).

Perlu diingat, jika sanksi ini diterapkan maka pihak penjual WAJIB MENGURANGI nilai harga yang disepakati dari awal, karena harga awal adalah harga yang dimasukkan ke dalam lamanya waktu angsuran. Maka sebagaimana kewajiban bayar DIKURANGI karena pembeli membayar lebih awal dengan demikian juga halnya dalam kasus ini. Bila tidak, maka penjual telah mengambil harta pembeli tanpa adanya imbalan, hal ini termasuk MEMAKAN harta orang lain dengan cara bathil.

Tetapi malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih, dia terkena suatu musibah yang menyebabkannya tidak mampu melunasi utangnya, atau barang yang dibeli raib maka tidak ada pilihan lain bagi kreditur kecuali bersabar hingga debitur mampu melunasi hutangnya.

Allah berfirman, "Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui". (QS. Al Baqarah: 280

Dari Abu Mas'ud Radhiyallahu Anhu Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda, "Seorang lelaki dari umat sebelum kalian saat dihisab Allah maka tidak didapatkan kebajikan sedikitpun darinya kecuali bahwa ia bermuamalat dengan manusia dan ia seorang yang kaya, ia selalu berpesan kepada hamba sahayanya agar menghapuskan hutang orang-orang yang sedang dalam kesulitan, Allah Azza wa Jalla berfirman, "Kami lebih berhak melakukan hal tersebut daripada ia, maka hapuskanlah (dosa-dosa) darinya". (HR. Muslim).

Selain pihak kreditur, kaum muslimin yang lainnya yang merupakan saudara seiman juga dianjurkan untuk memberi debitur yang jatuh pailit sumbangan agar dia mampu melunasi utangnya.

Diriwayatkan dari Abu Sa'id Al Khudri Radhiyallahu Anhu bahwa salah seorang sahabat di masa Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam membeli buah-buahan untuk dijualnya kembali. Sebelum sempat dijualnya buah-buahan tersebut lenyap. Maka utang sahabat ini menumpuk. Lalu Nabi Shalallahu alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya, "Bersedekahlah kalian untuknya". Para sahabat mengumpulkan sedekah untuk membantunya, tetapi dana yang terkumpul belum cukup untuk menutupi utang sahabat tersebut. Maka Nabi Shalallahu alaihi wa sallam berkata kepada para kreditur, "Ambillah uang sedekah yang terkumpul, dan kalian tidak mendapatkan uang kalian kecuali itu". (HR. Muslim).

Wallahu'alam.

Tags

Newsletter Signup

Barang siapa yang penampilan dhohirnya lebih berbobot daripada batinnya maka akan ringan timbangan nya nanti di hari kiamat.

Posting Komentar