Suka nuduh orang merebut Masjid, Eh ternyata...!
Ratusan warga Karanglo, Kelurahan Waru, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, menuntut Masjid Al Ghofur yang dikuasi salah satu ormas dikembalikan ke warga Karanglo, Minggu, 23 November 2025 sore.
Tuntutan tersebut dihadiri kepala Desa Waru, Pardijo, tokoh agama, pemuda dan ibu-ibu jamaah serta Sunardi Siswodiharjo yang mewakafkan tanahnya.
Sunardi mengatakan, awalnya tanah ini saya wakafkan untuk warga, untuk dibangun masjid dan yang membangun masjid ini adalah warga Karanglo.
Warga menggalang dana untuk membangun hingga berdirinya masjid ini.
“Kaur Desa Waru, Bapak Wahyono itu sebagai saksi, namun tahu-tahu tanah yang saya wakafkan atas nama organisasi tertentu. Dan saya nurut aja saat tanda tangan, karena beranggapan seorang pamong desa yang dipercaya orangnya jujur, kok ternyata lain,” ujarnya.
Di kesempatan yang sama, Kepala Desa mengatakan, Dulu-dulu saya kan kurang tahu, yang diberi mandat yaitu pak Wahyono, akhirnya melangkah sendiri, tidak mau musyawarah dengan masyarakat.
Padahal kehendak dari sini untuk masyarakat.
“Harapan saya mudah-mudahan nanti bisa kembali ke warga itu aja. Intinya pemerintah desa memfasilitasi aspirasi untuk menjadi hak warga,” harapnya.
Penyampaian Sikap Warga tersebut oleh Kuasa Hukum Wakif dan Warga, yaitu Al Ghozali Hide Wulakada, Lia Karuniawati, S.H., Rizki Al Khafit, S.11., dan Arsyad Jauhar, S.H. duduk perkaranya disampaikan secara jelas dan tegas.
Al Ghozali Hide Wulukada, menyampaikan pada tahun 2019 di kampung ini belum ada masjid, padahal mayoritas warga muslim.
Kemudian, Sunardi Siswodiharjo dengan niat yang ikhlas, mewakafkan tanah seluas 202 m³.
Kemudian pada tahun yang sama, ia kembali mewakafkan tanah untuk halaman Masjid seluas 188 m² di lokasi yang sama.
“Pembangunan masjid yang kemudian diberi nama Masjid Al Ghofur sepenuhnya dilakukan dengan semangat gotong royong warga. dengan menyumbang uang, bahan bangunan, hingga tenaga. Sejak awal hasil kerja jamaah muslimin di desa Karanglo,” jelas Al Ghozali.
Ketika tiba pada tahap legalitas wakaf, saat itu salah satu tokoh agama setempat bernama Wahyono yang merupakan pengurus NU, dipercaya membantu pengurusan administrasi.
Ia kemudian mengajak dua orang lain untuk ikut menjadi wakif.
Yang menjadi persoalan dalam ikrar wakaf pertama, tidak pernah dicantumkan nama NU sebagai Nadzir.
Namun setelah proses pengesahan wakaf dan terbit Sertifikat Wakaf, justru muncul nama Nahdlatul Ulama sebagai pihak Nadzir.
“Ini artinya tiga orang tersebut bertindak atas nama NU tanpa dasar ikrar yang jelas. Selama kurang lebih 4 Tahun, masjid ini tetap dikelola secara guyub oleh seluruh warga dari berbagai organisasi Islam,” ujarnya.
Namun sekitar tahun 2024 Akhir, terjadi perubahan besar-besaran.
Pengurus takmir diganti seluruhnya oleh pihak Organisasi tersebut secara sepihak dan tanpa diadakan musyawarah dengan warga yang notabene adalah pembangun serta pengurus Masjid sebelumnya.
Kemudian masjid digunakan untuk kegiatan, kantor, dan tradisi peribadatan khas NU, dipasang atribut NU di masjid tersebut.
Akibatnya, warga non-NU yang justru mayoritas di desa ini merasa tidak lagi nyaman menggunakan masjid yang mereka bangun bersama.
Wakif dan warga Karaglo hanya ingin masjid ini kembali menjadi milik dan tempat ibadah semua muslim, bukan menjadi dominasi satu kelompok saja.
Upaya Musyawarah Hingga Langkah Hukum Puncaknya, pada tahun 2024, wakif bersama warga mengadakan musyawarah besar.
Mereka membuat kesepakatan bersama untuk memberi nasihat kepada NU agar melakukan muhasabah dan mengembalikan pengelolaan masjid seperti sedia kala.
Namun ajakan itu diabaikan, karena itulah warga sepakat menempuh jalur hukum.
Sesuai PP Nomor 42 tahun 2006 pasal 9 UU Nomor Tahun 2004 Tentang Wakaf.
“Bila Nadzir tidak menjalankan kewajiban atau tidak mengelola objek wakaf sesuai dengan benar untuk kemaslahatan umum dalam jangka waktu 1 tahun maka Wakif atau Ahli Warisnya berhak mengusulkan kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI) untuk pemberhentian dan pergantian,” kata Al Ghozali.
Selama kurang lebih 5 Tahun segala kepengurusan Masjid di jalankan oleh warga sekitar masjid.
Hal tersebut selaras dengan perubahan kepungursan yang baru dilakukan pada Tahun 2024.
Pasal 14 juga mengatur bahwa setiap lima tahun kedudukan Nadzir harus dapat dievaluasi dan bila perlu diganti.
Mengacu pada aturan itu, warga mengjukan permohonan ke BWI.
Namun BWI menyatakan tidak dapat menyelesaikan sengketa ini dan mengarahkan Wakif untuk menggugat melalui Pengadilan Agama Sukoharjo.
Saat ini perkara tersebut sedang berjalan dengan nomor gugatan: 1065/Pdt.G/2025/PA.Skh.
sumber: pikiranrakyatsoloraya

Posting Komentar